Tak ada pesan yang tertinggal untuk diabaikan jika keadaan telah
mengakrabi kepercayaan,Mungkin itulah yang membuatmu menganggap
kata-kata yang belum sempat adalah serupa wasiat.Pun jika demikian, itu
berarti aku tak pernah mati bagimu.Akan lahir kembali,akan datang
kembali,mungkin suatu hari.Tak mustahil.Kata yang paling tepat.Kuizinkan
kau defenisikan sesukamu,bukan karena saya mengajakmu menjadi atheis
sesaat.Tak pernah,hanya saja itulah yang paling logis,yang kenyataan
ceritakan pada keterkadangan kurang mampu kita membaca dengan cara
pandang melingkar.sebab sudut pandang selalu egois dan tak pernah
memihak yang seharusnya.Aku tak suka itu.Masing masing memilih sudut
sendiri,menelaah katanya,padahal dia tengah menepi lalu semakin menjauhi
yang mesti.Lalu merasa dialah pemenang. Sudut selalu menyakitkan.Itulah
yang sempat kupelajari sejauh ini,tanpa guru.Maka,jika salahpun tak
akan ada hukuman. Dan aku mengkhawatirkanmu.
“Pesan dan perasaan,kita selalu mempertanyakan itu berulang ulang.
Mungkin kegaiban keduanya mengharuskan salah satu menjabarkan
kepastian”kukirim padamu suatu sore.
“Wan,Berapa umurmu sekarang?”balasmu berselang
“Buku kematian sudah ditutup.Itu pasti,tak ada yang bisa
bernegosiasi tentang ajal”
“Hmm?…waktu memang terlalu cepat”
“Kau membuatku gila”
“Lalu kau akan bilang,orang baik selalu lebih cepat pergi kan”
“Kau memujiku,mengasihaniku,atau sedang menghujatku”
“Saya tak sebaik yang kau kira”
“Tapi kau selalu ingin menyenangkan orang”
“Bukan,menyenangkan diriku sendiri”
Kau selalu menganggapku sangat laki-laki, sebab kata-kata yang tak
pernah kuingkari.Itulah juga kenapa kau selalu mempercayaiku,bahkan
ketika aku tak bersungguh-sungguh.Sepertinya aku telah sukses membuat
kesan pertama di matamu. Dan tak kupungkiri sejak awal akupun telah
mempercayai matamu,sejak mata kanakkanakmu.Ada bening
ketulusan,kejujuran,kesahajaan. Entah kau pernah mengamatinya lewat
cermin atau tidak.Tapi aku melihatnya lewat cerminku. Dan jujur saja itu
sangat memikat. Mungkin itu pula yang menjadikan kita terikat cerita.
Lekat.
Aku sering teringat matamu itu saat kita bertukar gagasan dan
perangkat-perangkat alasannya yang kita jabarkan sangat panjang,dan kau
tak pernah bisa menantang mataku sambil mematahkan argumenku.Padahal
kita telah cukup akrab untuk mengatasi kekakuan yang renggang itu,nalar
ku saja. Dan suatu ketika kau bertanya
“Kenapa?”
“Tak apa,bisakah kau meneguhkan maksudmu pada mataku?”
“Kau cukup tahu aku,kau menertawaiku,kan?”
“Heh…tanpa eye contact,opini itu minus”
“Kau baru saja melakukan personal attack,dan aku bukan debater”
“Jadi,apa?”
“Soldier,haha.Itu kau ya”
Lalu atmosfir akan berubah drastis ketika kau tertawa. Pikiranku
entah telah sampai ke mana. Bahwa suatu hari mungkin aku akan menitipkan
beban berat di bahumu,atau ketika aku beranjak pergi di hari berikutnya
lagi.Mungkin juga kau harus tetap di sini menungguku,menunggu berita
terakhir dariku,menunggu berita terakhir tentangku lewat orang lain.
“Bagaimana ibumu?”suaramu membangunkanku
Kau pun sepertinya telah cukup ahli membacaku hingga sejauh itu.
Benar, betapa yang paling aku khawatirkan adalah ibuku. Lebih dari
diriku sendiri. Memikirkan rongga dadanya yag akan menyempit memberiku
restu dengan berat.Dan bagaimana jika ia tak sanggup menampung
kesedihannya,dan kau pun sangat tahu,hal itu tak mungkin
kuabaikan.Bukankah ridhonya mewakili ridho Sang Maha.Sesaat aku ciut.
***
Ibu…
Mungkin aku dan kau akan merasa lebih nyaman jika permintaan ku ini
kutulis saja dalam sepucuk surat,agar kita tak saling
berhadap-hadapan,tak saling memperhatikan sendu,tak saling
menyembunyikan ketegaran. Kau akan membaca pesanku ini sebelum
tidur,atau mungkin setelah kau tunaikan sujud panjangmu di tepi
pembaringanmu,setelah lantun-lantun suci kau kirim,setelah do’a –do’amu
mu yang pasti terjawab.bagaimanapaun itu,agar aku yakin kau akan
baik-baik saja saat membacanya hingga selesai.
Tapi malam ini lampu padam.Hujan di luar tak memberi kita banyak
kesempatan untuk saling mendengar dan saling berbicara. Atap menguasai
semua bunyi, dan satu-satunya yang kudengar adalah suaraku
sendiri.Jikalau pun aku harus mengatakannnya malam ini padamu,bu aku tak
akan jelas mengamati matamu yang bercahaya itu,dan akau tak akan cukup
kuat melihatnya lebih redup dari damar yang tertiup angin. Yang kutahu
mata itu cermin hati,membayangkan jika hatimu lebih basah dari
matamu,jika hatimu lebih gelap dari matamu, dan ini akan membuatku lebih
merana,bahkan ketika hanya membayangkannya. Sementara waktuku tak
banyak.
Waktu justru membawaku berjalan mundur sejenak, saat kau memasangkan
kaos kaki, merapatkan selimut yang telah kubuat menjauhi tubuhku
sebelum tengah malam,juga merapikan kanjing jaketku yang bersusah payah
kulepas dengan tangan mungilku yang masih lemah, sementara kau telah
cukup tahu kebiasaanku ini,maka akan terbangun untuk memastikan aku tak
kedinginan.Membenarkannya lagi seperti semula. Selanjutnya kau akan
mengamati sekeliling sisi tempat tidur, memeriksa celah kelambu, jika
sekiranya ada nyamuk yang lolos,dan kau tak pernah rela seekor nyamuk
pun menggangguku.Lantas bagaimana aku bisa mengimbangi semua ini bu,
meski kau tak mengangapnya utang untuk kulunasi atau
kautagih,bagaimanapun bentuknya. Bu,akau hanya ingin kau memahamiku
bahwa aku tak akan pernah menghianatimu, menghianati hatimu yang putih
itu. Dan sekarang, jawaban yang kucari adalah bagaimana caranya agar
kata-kata yang akan kuucapkan selanjutnya di hadapan matamu yang hangat
itu tak menyakiti hatimu,meski itu sakit yang sedikit sekali.Tak boleh.
***
Dalam percakapan berikutnya,sebelum sebuah jalan panjang yang tak
ringan. Nyaris tak ada tema yang lain yang mengisi kepalaku sejak
kuazzamkan pada nuraniku tentang niat ini.
“Sudah kau sampaikan ke ibumu?”pertanyaanmu itu seperti
menginterogasiku saja
“Ibu akan memahamiku”
Yaa Tuhan,apakah keyakinanku tentang ibu,telah cukup bisa kuandalkan
saat ini?Sungguh,belakangan ini aku menghipnotis diriku dengan mantra
ini.Ibu pernah bilang “Jika pemahamanmu tentang Tuhan sudah lurus,maka
selamanya kau tak akan pernah memilih jalan menyimpang.”
Tapi ini bukan karena semua jalan telah bengkok,bukan pula karena
ini adalah jalan satu-satunya,hanya karena sebuah pilihan,bu.
“Ini tak sederhana Wan”
“Dan aku juga berharap tak rumit dengan tidak memperumitnya”
“Maksudku,bagaimana jika ibumu tak mengizinkan”tandasmu
“Dia akan jadi ibumu juga,bagaimana denganmu?”
“Bukankah kita telah bersepakat?”pertanyaanmu retoris
“Tak bisakah aku mendengarnya sekali lagi?”
“Aku percaya padamu,dengarkan nuranimu”
Baiklah…kita akan tahu jawabannya hari ini.Telah kupikirkan
semalaman sampai aku tak bisa tertidur meskipun mataku ini telah kukatup
rapat-rapat.
Setiba di rumah kudapati ibu telah di meja makan,menungguku pulang.
Entah kenapa hatiku sakit sekali melihat pemandangan ini,pemandangan
yang seharusnya biasa,karena telah kusaksikan setiap hari,namun kali ini
jauh berbeda.Kucoba menghirup udara dalam-dalam,berharap udara bisa
mengisi rongga di dadaku ini yang serasa berlubang. Kulakukan berulang
ulang,tak juga dada ini cukup menampungnya. Serupa kosong.
Kukumpulkan semua keberanian yang kupunya untuk membuka percakapan
ini,berharap kita menutupnya nanti dengan kerelaan,bu.
“Bu…”suaraku kutata agar tak bergetar
“Kenapa,nak?”
“Bu,bagaimana sekiranya aku meniatkan menunaikan suatu perihal yang
tak melanggar agama,tak melanggar adat,tak juga melanggar kepantasan?”
Ibu menatapku lekat ,”maafkan aku bu, untuk yang terlanjur
kutanyakan”,batinku
“Apakah ini tentang keberangkatanmu,nak?”ibu mengangkat wajahnya
Sebulan yang lalu saat kau tugas ke Aceh,temanmu,Alif datang menemui
ibu.Dia telah menceritakan perihal niatmu itu. Bahwa ini bagian dari
amanat negara dan seragammu,dan kau kukuh tak mau namamu diganti dalam
daftar pasukan.
Nak,semakin dewasa kau menjadi semakin mirip ayahmu.Sepertinya kau
mewarisi banyak hal darinya. Sama seperti keikhlasan seorang istri,kali
ini kau tak perlu memohon untuk keikhlasan seorang ibu,nak.Ibu akan
menjadi setegar Khanza.
***
Alif…
Kau selalu menjadi teman kanak-kanak nomor satu bagiku hingga detik
ini,sungguh.Aku mempercayaimu lebih dari yang kau duga. Dan aku sadar,
telah meninggalkan amanah berat di pundakmu.Benar,itulah yang sempat
kuperkirakan sejak awal,kau tahu itu dengan jelas,dan kau tak pernah
protes.Kau seperti malaikat bagiku,kawan.Karena itu pula kuserahkan dua
perempuan paling luar biasa dalam hidupku,padamu kawan.
Aku tahu,tepatnya pura-pura tak tahu sedari dulu kau menyimpan
rasamu pada Iffah,kan.
“Dia anak yang manis”komentarmu saban hari
Lalu diam-diam aku sering memperhatikan ekor matamu mengkutinya,dan
kau hanya berakhir di ujung kerundungnya.
“Hey…matamu jangan nakal ya!”hardikku
“Hehe…maaf,aku tahu dia adikmu”
“Lantas?”
“Tidak,matamu sangat mirip dengannya”
Kau menyembunyikan tawa kecilmu,samar sekali.aku hampir tak bisa
melihatnya.Aku tak cukup tahu sejak kapan pastinya kau menampung
perasaanmu itu untuknya,dan aku insaf selalu tak memperdulikan
pertanyaanmu tentangnya.Maaf untuk itu,kawan.Saat ini,sebagai walinya
kurestui kau menghalalalkannya.Jadilah imamnya dunia akhirat.
Samar-samar terbaca olehku hamparan tanah yang
jauh,seragam,perlengakapan militer,juga barisan pasukan pembela.Telah
sampai aku di sini rupanya.
Gaza…Aku datang.***
Meiranti Kurniasih
301211